LOS ANGELES – 3 November 2025 – Dalam sebuah pengumuman yang mengguncang pilar komunitas Valorant global, Team SoloMid (TSM), salah satu organisasi esports paling ikonik di Amerika Utara, secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari kancah kompetitif Valorant, efektif segera per tanggal 3 November 2025.

Keputusan mengejutkan ini mengakhiri perjalanan lima tahun yang penuh gejolak, dari dominasi awal yang absolut hingga perjuangan berat di luar liga waralaba (franchise league) VCT. Pengumuman tersebut disampaikan melalui sebuah rilis pers resmi di situs web TSM dan sebuah video pernyataan dari pendiri sekaligus CEO, Andy “Reginald” Dinh.
“Ini adalah salah-Tindakan-satu keputusan terberat yang pernah kami buat di TSM,” tulis pernyataan resmi tersebut. “Valorant telah menjadi bagian penting dari sejarah kami, tetapi setelah evaluasi strategis jangka panjang dan meninjau tantangan ekosistem saat ini, kami terpaksa membuat pilihan sulit untuk mundur dari kancah kompetitif.”
Rilis tersebut mengonfirmasi bahwa seluruh pemain dan staf pelatih dari roster Valorant yang masih aktif telah dibebaskan dari kontrak mereka, memungkinkan mereka untuk segera menjajaki peluang baru sebagai agen bebas (free agents).
Kepergian TSM bukan sekadar keluarnya satu tim; ini adalah simbol dari pergeseran seismik dalam lanskap esports dan mungkin merupakan “paku di peti mati” terakhir bagi organisasi-organisasi Tier-1 di luar sistem kemitraan Riot Games.
Ulasan Lengkap: Dari Raja Menjadi Terbuang

Untuk memahami besarnya kehilangan ini, kita harus melihat kembali warisan TSM di Valorant.
Fase 1: Dominasi Awal (2020-2021) TSM adalah salah satu organisasi pertama yang terjun ke Valorant saat game ini masih dalam versi beta tertutup pada awal 2020. Mereka membangun skuad yang dengan cepat menjadi sinonim dengan kekuatan Amerika Utara. Roster awal yang legendaris, terdiri dari Matthew “Wardell” Yu, Yassine “Subroza” Taoufik, Taylor “drone” Johnson, Stephen “reltuC” Cutler, dan James “hazed” Cobb, adalah raksasa yang tak terbantahkan.
Mereka memenangkan turnamen besar pertama dalam sejarah Valorant NA, T1 x NSG Showdown Ignition Series, dan melanjutkan untuk mendominasi sebagian besar era “Ignition Series” pada tahun 2020. Gaya permainan mereka yang agresif, dipelopori oleh permainan Operator Wardell yang ikonik, mendefinisikan meta awal game tersebut. Selama periode ini, TSM adalah raja; VCT (Valorant Champions Tour) bahkan belum sepenuhnya terbentuk, dan TSM adalah tim yang harus dikalahkan.
Fase 2: Perjuangan di VCT dan Kegagalan Internasional (2021-2022) Ketika Riot Games meluncurkan VCT pada tahun 2021, lanskap mulai berubah. Persaingan semakin ketat. Tim-tim seperti Sentinels, 100 Thieves, dan kemudian OpTic Gaming mulai mengambil alih dominasi. Meskipun TSM tetap menjadi tim yang berbahaya dan memiliki basis penggemar yang besar, mereka secara konsisten gagal lolos ke acara internasional.
Mereka gagal mencapai VCT Masters Reykjavík, Masters Berlin, dan yang paling menyakitkan, Valorant Champions. Pergantian roster menjadi sering, mencoba menangkap kembali sihir lama, tetapi tidak pernah sepenuhnya berhasil. Mereka tetap menjadi tim papan atas di NA, tetapi bayang-bayang kesuksesan internasional selalu menghindari mereka.
Fase 3: Pukulan Mematikan – Penolakan Liga Waralaba (2022) Titik balik yang tak terhindarkan terjadi pada September 2022. Riot Games mengumumkan tim-tim yang terpilih untuk program kemitraan (franchise) VCT Americas League yang baru. Dalam apa yang dianggap sebagai salah satu kelalaian terbesar dalam sejarah esports, TSM—sebuah organisasi dengan sejarah panjang di League of Legends milik Riot dan basis penggemar yang luar biasa—ditolak.
Penolakan ini secara efektif menurunkan TSM ke kancah Tier-2 (VCT Challengers). Bagi sebuah organisasi sebesar TSM, yang model bisnisnya bergantung pada eksposur tingkat atas dan kemenangan di panggung terbesar, ini adalah pukulan finansial dan moral yang telak.

Analisis Kejatuhan: Mengapa TSM Akhirnya Menyerah?
Pengumuman pada 3 November 2025 bukanlah keputusan impulsif. Ini adalah puncak dari tiga tahun perjuangan finansial dan strategis pasca-penolakan waralaba.

1. “Musim Dingin Esports” dan Ketidakpastian Finansial Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri esports telah mengalami koreksi pasar yang signifikan, yang dikenal sebagai “Musim Dingin Esports”. Sponsor menarik diri, valuasi organisasi anjlok, dan profitabilitas menjadi kata kunci.
TSM, meskipun besar, tidak kebal. Menjalankan roster Valorant Tier-2 di VCT Challengers adalah operasi yang merugi. Gaji pemain tetap tinggi karena reputasi TSM, tetapi pendapatan dari turnamen Tier-2 dan eksposur sponsor jauh lebih rendah dibandingkan dengan tim-tim di liga waralaba. Investasi besar diperlukan untuk mencoba memenangkan “Ascension” (turnamen promosi ke liga waralaba), sebuah pertaruhan yang sangat berisiko.
2. Kegagalan di Jalur Ascension Selama dua musim terakhir (2024 dan 2025), TSM telah menginvestasikan jutaan dolar untuk membangun “super team” di kancah Challengers dengan satu tujuan: memenangkan turnamen Ascension Amerika dan mendapatkan promosi dua tahun ke VCT Americas League.
Mereka gagal. Pada tahun 2024, mereka dikalahkan di final oleh tim kuda hitam. Pada tahun 2025, meskipun menjadi favorit, mereka tersingkir di semi-final. Kegagalan ganda ini tampaknya menjadi titik akhir bagi kesabaran dewan direksi TSM. Tanpa jalur yang jelas menuju profitabilitas atau panggung utama, divisi Valorant menjadi lubang uang yang tidak dapat dipertahankan.
3. Pergeseran Fokus Strategis Perusahaan Dalam pernyataannya, Reginald menyinggung “evaluasi strategis jangka panjang”. Ini adalah bahasa korporat untuk “kami memfokuskan uang kami di tempat lain”. TSM masih memiliki slot waralaba yang sangat berharga di League of Legends (LCS) dan tim yang dominan secara global di Apex Legends. Kemungkinan besar, TSM memutuskan untuk mengkonsolidasikan sumber dayanya ke dalam judul-judul di mana mereka sudah berada di puncak dan memiliki keamanan jangka panjang, daripada terus mendanai pertempuran yang tampaknya mustahil di Valorant.
Reaksi Komunitas dan Warisan yang Ditinggalkan
Berita ini disambut dengan kesedihan dan nostalgia besar-besaran dari komunitas. Tagar #ThankYouTSM menjadi tren global di X (sebelumnya Twitter) dalam beberapa jam.
Mantan pemain, seperti Subroza, hanya mentweet emoji patah hati. Wardell, wajah dari era keemasan mereka, menulis: “Sedih melihatnya berakhir. Kenangan itu akan bertahan selamanya. Terima kasih atas kesempatannya, TSM.”
Para analis esports menunjuk ini sebagai kegagalan sistemik dari model waralaba Riot. “Ini adalah bukti bahwa model ‘liga tertutup’ Riot memiliki konsekuensi,” kata analis esports terkemuka, Duncan “Thorin” Shields, dalam sebuah video reaksi. “Anda mengambil salah satu merek terbesar di wilayah Anda, membuangnya ke Tier-2, dan kemudian bertindak terkejut ketika mereka akhirnya menyerah setelah dua tahun merugi jutaan dolar. Ini adalah kerugian bersih bagi seluruh ekosistem.”
Warisan TSM di Valorant akan selalu menjadi kisah tentang “apa yang mungkin terjadi”. Mereka adalah raksasa asli NA, tim yang membantu membangun fondasi penonton untuk game tersebut. Ikonografi hitam-putih mereka tidak terpisahkan dari hari-hari awal Valorant.
Kepergian mereka meninggalkan lubang besar di kancah Tier-2 Amerika Utara dan berfungsi sebagai peringatan keras bagi organisasi lain. Ini menandakan bahwa dalam lanskap esports modern yang didorong oleh waralaba, tidak ada nama yang terlalu besar untuk gagal jika mereka berada di pihak yang salah.
Saat debu mengendap, para pemain TSM yang kini menjadi agen bebas tidak diragukan lagi akan menjadi komoditas terpanas di bursa transfer. Namun, bagi para penggemar yang tumbuh dewasa menyaksikan TSM mendominasi Ignition Series, 3 November 2025 akan selamanya dikenang sebagai hari di mana musik berhenti untuk salah satu pendiri kancah Valorant.
