
Harapan Tundra Esports untuk kembali mengangkat Aegis of Champions di The International 2025 harus pupus di tengah jalan. Perjalanan tim unggulan asal Eropa Barat ini secara mengejutkan terhenti di babak perempat final lower bracket, setelah menelan kekalahan pahit 0-2 dari tim kuda hitam asal Amerika Selatan, HEROIC. Tersingkirnya Tundra dari panggung termegah Dota 2 ini sontak menjadi perbincangan hangat di komunitas, dengan satu nama yang terus menggema sebagai faktor krusial di balik kegagalan mereka: Matthew “Whitemon” Filemon.

Absennya sang pilar dukungan posisi 5 asal Indonesia ini akibat masalah visa yang tak terduga menjadi pukulan telak bagi Tundra bahkan sebelum pedang pertama diayunkan di Hamburg. Kehilangan Whitemon, yang dikenal dengan visi bermainnya yang luas, positioning yang cerdas, dan penguasaan hero support yang beragam, meninggalkan lubang menganga dalam fondasi strategi permainan Tundra.
Sebagai gantinya, Tundra menunjuk Tobias “Tobi” Buchner, seorang pemain veteran yang sejatinya adalah seorang offlaner. Meskipun Tobi memiliki rekam jejak yang solid sebagai pemain pengganti, termasuk penampilannya yang gemilang bersama Team Liquid di beberapa turnamen sebelumnya, perannya di Tundra kali ini berada di luar zona nyamannya. Perbedaan gaya bermain yang fundamental antara Whitemon dan Tobi pun tak pelak menjadi sorotan utama sepanjang kiprah Tundra di TI 2025.
Perjalanan Penuh Gejolak: Kemenangan Heroik dan Kekalahan yang Menyakitkan
Meskipun tampil dengan skuad yang tidak utuh, Tundra Esports sempat menunjukkan secercah harapan. Kemenangan dramatis 2-1 atas juara bertahan Team Liquid di babak eliminasi menjadi bukti ketangguhan mental dan kemampuan adaptasi mereka. Dalam seri tersebut, Tundra berhasil menunjukkan bahwa mereka masih menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan. Kemenangan ini seolah menjadi pesan bahwa mereka tidak akan menyerah begitu saja meski badai menerpa.
Namun, harapan itu akhirnya padam saat mereka berhadapan dengan HEROIC. Tim asal Amerika Selatan yang tampil tanpa beban berhasil mengeksploitasi celah yang ditinggalkan oleh absennya Whitemon. Dalam dua game yang berjalan relatif cepat, HEROIC menunjukkan permainan yang agresif dan disiplin, terus-menerus menekan Tundra dan tidak memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan permainan.
Pada game pertama, draft Tundra yang berpusat pada pahlawan-pahlawan dengan kemampuan inisiasi tinggi tampak kurang efektif. HEROIC dengan cerdik membalas dengan pilihan hero yang lebih fleksibel dan mampu bertahan dari gempuran awal Tundra. Di game kedua, Tundra mencoba strategi yang berbeda, namun sekali lagi, sinergi dan eksekusi permainan HEROIC terbukti lebih unggul.
Terlihat jelas bagaimana Tundra merindukan sosok Whitemon dalam seri krusial ini. Kemampuan Whitemon untuk menciptakan ruang bagi rekan-rekannya, memberikan visi penting melalui warding yang cerdas, dan penyelamatan-penyelamatan krusial di saat-saat genting adalah elemen-elemen yang hilang dari permainan Tundra. Tobi, dengan segala hormat atas usahanya, tidak dapat sepenuhnya mereplikasi peran vital yang biasa diemban oleh Whitemon. Latar belakangnya sebagai seorang offlaner membuatnya lebih cenderung untuk bermain agresif dan mencari peluang untuk melakukan gank, sebuah gaya yang terkadang tidak selaras dengan kebutuhan tim akan seorang support posisi 5 yang lebih defensif dan berorientasi pada visi.
Analisis Mendalam: Pergeseran Strategi dan Dampak Jangka Panjang
Absennya Whitemon memaksa Tundra untuk melakukan pergeseran strategi yang signifikan. Dengan Tobi di posisi 5, Tundra cenderung memilih hero-hero support yang lebih tahan banting dan memiliki kemampuan inisiasi yang kuat, seperti Earthshaker atau Nyx Assassin. Hal ini berbeda dengan gaya bermain mereka bersama Whitemon, di mana mereka sering kali mengandalkan hero-hero seperti Oracle, Dazzle, atau Chen yang lebih berfokus pada penyelamatan dan sustain dalam pertempuran.
Perubahan ini tidak hanya memengaruhi fase drafting, tetapi juga dinamika di dalam permainan. Rotasi dan pergerakan Tundra terasa kurang terkoordinasi dibandingkan biasanya. Visi di peta yang biasanya menjadi salah satu keunggulan mereka kini terasa lebih terbatas, membuat mereka rentan terhadap serangan-serangan mendadak dari lawan.
Kekalahan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan Tundra Esports. Meskipun mereka berhasil meraih hasil yang cukup terhormat (peringkat 7-8) dengan seorang pemain pengganti, ekspektasi terhadap tim sekaliber Tundra tentunya jauh lebih tinggi. Komunitas Dota 2 pun terbelah. Sebagian besar penggemar menyatakan simpati dan memaklumi kekalahan Tundra, dengan alasan bahwa kehilangan pemain sepenting Whitemon di saat-saat terakhir adalah sebuah rintangan yang terlalu besar untuk diatasi. Namun, tidak sedikit pula yang melayangkan kritik terhadap strategi adaptasi Tundra yang dinilai kurang efektif.
Sebuah Pelajaran Berharga
Kisah tersingkirnya Tundra Esports dari The International 2025 menjadi pengingat yang menyakitkan tentang betapa krusialnya setiap individu dalam sebuah tim Dota 2 profesional. Ini bukan hanya tentang kemampuan mekanik, tetapi juga tentang sinergi, komunikasi, dan pemahaman mendalam akan peran masing-masing yang dibangun melalui latihan berbulan-bulan.
Bagi Tundra, ini adalah pil pahit yang harus ditelan. Namun, di balik kekecewaan, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Perjalanan mereka di TI 2025, meskipun singkat, menunjukkan semangat juang yang patut diacungi jempol. Kini, mereka memiliki waktu untuk berefleksi, menyusun kembali kekuatan, dan kembali lebih kuat di musim kompetisi berikutnya. Dan bagi para penggemar di seluruh dunia, terutama di Indonesia, harapan untuk melihat Whitemon kembali berlaga di panggung termegah dan membuktikan kapasitasnya sebagai salah satu support terbaik di dunia akan terus menyala. Bayang-bayang absennya di TI 2025 akan selalu menjadi pengingat akan potensi yang belum sepenuhnya terwujud.