
Wacana untuk menjadikan esports sebagai kegiatan ekstrakurikuler resmi di sekolah-sekolah Indonesia terus bergulir, memicu perdebatan sengit antara optimisme akan potensi generasi baru dan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Didorong oleh pesatnya pertumbuhan industri game dan prestasi atlet-atlet tanah air di kancah internasional, gagasan ini perlahan mulai diimplementasikan di berbagai daerah, mengubah hobi yang sering dicap negatif menjadi sebuah jalur pembinaan prestasi yang terstruktur.
Langkah ini bukanlah tanpa dasar. Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) telah lama mengadvokasi integrasi esports ke dalam sistem pendidikan. Melalui program seperti Akademi Esports Garudaku, PB ESI berupaya menciptakan ekosistem yang tidak hanya melahirkan atlet, tetapi juga talenta-talenta lain di industri esports seperti pelatih, analis, dan caster. Beberapa pemerintah daerah, seperti di Surabaya serta sejumlah sekolah di Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan telah memulai proyek percontohan, bekerja sama dengan pengembang game seperti Moonton untuk memasukkan game populer ke dalam daftar kegiatan ekstrakurikuler.
Tanggapan dari pemerintah pusat sendiri bersifat hati-hati namun suportif. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah memberikan lampu hijau bagi sekolah untuk mengembangkan esports sebagai ekstrakurikuler. Pihak kementerian menegaskan bahwa meskipun esports tidak akan masuk sebagai kurikulum wajib nasional, sekolah diberikan otonomi untuk mengadopsinya sesuai dengan relevansi dan kebutuhan siswa. Ini memberikan fleksibilitas bagi institusi pendidikan untuk merancang program yang sesuai dengan visi dan misi mereka, sekaligus menjadi wadah bagi minat besar siswa di bidang game.
Sisi Terang Medali: Manfaat dan Peluang Karir
Para pendukung wacana ini menyoroti segudang manfaat positif yang bisa dipetik dari ekstrakurikuler esports. Jauh dari sekadar bermain game, kegiatan ini diyakini mampu mengasah berbagai keterampilan penting abad ke-21.
- Pengembangan Soft Skills: Permainan kompetitif, terutama yang berbasis tim, menuntut komunikasi efektif, kerja sama yang solid, dan kepemimpinan. Para siswa belajar bagaimana menyusun strategi, mengambil keputusan cepat di bawah tekanan (critical thinking and problem-solving), dan menerima kekalahan dengan sportif.
- Meningkatkan Inklusi dan Keterlibatan: Ekstrakurikuler esports dapat menjadi rumah bagi siswa yang mungkin tidak tertarik pada kegiatan olahraga tradisional. Ini menciptakan rasa kebersamaan dan komunitas baru, meningkatkan keterlibatan siswa dalam kehidupan sekolah dan berpotensi mengurangi rasa terasing.
- Membuka Gerbang Karir: Industri esports adalah ekosistem raksasa dengan valuasi triliunan rupiah. Menjadi atlet profesional hanyalah salah satu dari sekian banyak jalur karir. Ada peluang besar di bidang manajemen tim, pemasaran digital, produksi konten, pengembangan game, analisis data, hingga menjadi penyelenggara acara (event organizer). Dengan adanya ekskul, siswa dapat mengenal potensi karir ini sejak dini.
Beberapa sekolah yang telah menerapkan program ini, seperti SMA 1 PSKD Jakarta, bahkan merancang kurikulum yang berfokus pada pembinaan karakter. Mereka menekankan pentingnya disiplin, manajemen waktu, dan kerja keras, memastikan bahwa kegiatan bermain game diimbangi dengan tanggung jawab akademik.
Pedang Bermata Dua: Risiko dan Tantangan Implementasi
Di tengah optimisme, berbagai kekhawatiran yang valid juga mengemuka. Para kritikus, termasuk beberapa psikolog anak dan orang tua, menyoroti potensi dampak negatif yang harus diwaspadai.
- Risiko Kecanduan dan Gangguan Kesehatan: Batas antara hobi yang sehat dan kecanduan bisa menjadi sangat tipis. Waktu layar yang berlebihan dapat mengganggu prestasi akademis, mengurangi aktivitas fisik, dan menyebabkan masalah kesehatan seperti gangguan tidur, obesitas, serta masalah postur tubuh.
- Kesehatan Mental dan Emosional: Lingkungan game yang sangat kompetitif dapat memicu stres, kecemasan, bahkan depresi, terutama saat menghadapi kekalahan atau tekanan untuk menang. Selain itu, anonimitas di dunia maya juga rentan membuka celah untuk perundungan siber (cyberbullying) dan perilaku toksik antar pemain.
- Kesenjangan Akses: Tantangan signifikan lainnya adalah kesenjangan digital. Tidak semua siswa memiliki akses yang sama terhadap perangkat komputer atau konsol game yang mumpuni, serta koneksi internet yang stabil. Hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan peluang bagi siswa dari latar belakang ekonomi yang berbeda.
Para psikolog menekankan pentingnya pengawasan ketat dari guru pembina dan orang tua. Program ekstrakurikuler harus memiliki aturan yang jelas mengenai durasi bermain, keseimbangan dengan tugas sekolah, dan promosi gaya hidup sehat. Tanpa kerangka kerja yang kuat, kegiatan yang seharusnya positif ini bisa berubah menjadi bumerang.
Menuju Jalan Tengah: Peran Regulasi dan Kurikulum Terstruktur
Untuk memaksimalkan potensi positif dan memitigasi risiko, implementasi ekstrakurikuler esports memerlukan perencanaan yang matang. Peran PB ESI melalui Akademi Garudaku menjadi krusial dalam menyediakan panduan dan standarisasi.
Kurikulum yang diusulkan umumnya tidak hanya berfokus pada praktik bermain game. Sebuah program yang ideal mencakup tiga pilar utama:
- Teori (30%): Mempelajari strategi permainan, analisis pertandingan, sejarah esports, dan pemahaman tentang industrinya.
- Soft Skills (20%): Pelatihan komunikasi, kerja sama tim, sportivitas, dan literasi digital yang sehat.
- Praktik (50%): Latihan bermain game dalam sesi yang terstruktur dan terawasi.
Selain itu, pelatihan bagi guru pembina menjadi kunci. Mereka harus dibekali pengetahuan tidak hanya tentang game, tetapi juga tentang psikologi remaja, cara mengidentifikasi tanda-tanda kecanduan, dan bagaimana menciptakan lingkungan yang aman dan positif.
Pada akhirnya, menjadikan esports sebagai ekstrakurikuler adalah sebuah langkah adaptif terhadap perubahan zaman dan minat generasi muda. Ini adalah upaya untuk menyalurkan energi dan gairah siswa ke dalam sebuah wadah yang terstruktur, edukatif, dan berpotensi membuka jalan menuju prestasi. Namun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada bagaimana sekolah, orang tua, dan regulator bekerja sama untuk membangun pagar pengaman yang kokoh, memastikan bahwa siswa tidak hanya menjadi pemain yang hebat, tetapi juga individu yang seimbang dan bertanggung jawab.